Rabu, 10 Oktober 2012

Belajar Berqurban dari Nenek Penjual Sapulidi

(diambil dari milis TDA)
Saya memiliki seorang kawan yang bekerja disebuah perusahaan besar di Indonesia. Ia baru 3 atau 4 tahun bekerja. Dan tahun ini (1999) adalah tahun pertama ia merencanakan untuk berqurban, setelah tahun sebelumnya merasa belum cukup mampu untuk berqurban.

Mendekati hari raya Idul Adha, kawan saya tersebut menjadwalkan mencari hewan untuk qurban. Ia mencoba untuk survey ke beberapa tempat, agar mendapatkan hewan qurban terbaik dengan dana yang dimilikinya.

 Sesampai di sebuah tempat penjual hewan Qurban terakhir, ia melihat banyak sekali para pembeli yang sedang memilih hewan- hewan Qurban. Kawan sayapun ikut serta melihat satu persatu hewan qurban sambil bertanya harga dari masing-masing kelompok.Akhirnya perhatian tertumpu pasa seekor domba yang tidak terlalu kurus, juga tida terlalu gemuk.

Kawan saya memang mencari domba yang tidak terlalu besar, agar sesuai dengan budget yang dimilikinya. Setelah bertanya kepada penjual, berapa harga domba tersebut, maka tawar menawar pun terjadi. Kawan saya masih berharap mendapatkan harga lebih murah lagi dari yang ditawarkan penjual hewan qurban tersebut. Karena belum ada kata sepakat, kawan saya selanjutnya mengalihkan perhatian kepada domba yang lain, dengan harapan penjual mau menurunkan harganya.

Setelah agak lama berpura-pura melihat doma yang lain, akhirnya kawan saya kembali lagi ke domba yang menarik perhatiannya. Dan kembali ia bertanya kepada penjual, “Bagaimana pak bisa dengan harga segitu?” Penjual domba menjawab: “Belum bisa kang”, dengan logat sunda yang kental. Mendapat jawaban demikian, akhirnya kawan saya itu bersiap-siap pergi dari tempat
 tersebut. Ia menuju tempat motornya diparkir, mengenakan jaket dan helm-nya lambat-lambat. Harapannya sang penjual mau menurunkan harganya.

Ketika kawan saya sedang bersiap-siap untuk pergi, datang seorang nenek renta, dengan guratan-guratan wajah yang menunjukkan kehidupannya yang susah. Kawan saya agak memalingkan wajah ketika nenek itu melintas dihadapannya, karena kawan saya menduga kalau nenek itu adalah pengemis yang akan meminta-minta sedekah.

Dengan jalan yang sudah agak susah, dan suara yang parau, nenek itu bertanya-tanya mencari penjual hewan qurban, dan akhirnya bisa bertemu dengan penjual hewan qurban. Sambil berpura-pura persiapan untuk pergi belum selesai, kawan saya mencuri-curi dengar apa yang dibicarakan nenek itu dengan penjual hewan qurban itu.

“Ada apa nek?” tanya penjual hewan qurban. Si nenek menjawab: “Mana domba yang paling bagus mang?” “Ada disitu nek”, jawab penjual hewan qurban sambil menuntun tangan si nenek ke tempat domba yang besar, dengan bulu yang tebal dan tanduk melingkar bagus. Kawan saya bahkan tidak sempat mampir ke kandang domba itu, karena menduga pasti harganya mahal. Si nenek bertanya lagi: “Berapa harganya mang?” Penjual hewan qurban menjawab dengan datar: “Enam ratus ribu rupiah nek”.

Si nenek lalu mencari tempat duduk. Tanpa melakukan tawar menawar, ia mengeluarkan kantong plastik hitam, dan dari dalamnya dikeluarkan uang Rp.1.000 yang digulung dan diikat dengan karet. Ia menghitung satu persatu, lalu menyerahkan kepada penjual hewan qurban enam ratus lembar seribu rupiahan lusuh. Sementara penjual hewan qurban sedang mengeluarkan domba tersebut dari kandangnya.

Melihat hal tersebut, kawan saya melepaskan lagi helm yang sudah dikenakannya, dan berjalan mendekati nenek tua itu. Lalu ia bertanya: “Beli domba untuk siapa nek?” sambil penasaran dan ingin tahu. Si nenek menjawab tanpa ekspresi: “Untuk nenek”. Kawan saya terkaget luar biasa. Ada rasa kagum dan malu bercampur baur. Lalu kawan saya bertanya lagi: “Nenek bekerja apa, bisa membeli domba yang paling bagus?” Si nenek menjawab: “Nenek menjual sapu nak. Setiap hari bisa untung lima ribu, yang dua ribu rupiah disimpan untuk beli hewan qurban. Alhamdulillah tiga tahun terakhir nenek bisa qurban”.

Kawan saya tercenung mendengar kata-kata si nenek. Ia benar-benar malu kepada dirinya...

1 komentar:

Anggoro Suprapto mengatakan...

Subhanallah....benar-benar mulia si hati nenek, saya setelah membacanya malu sendiri. Kita bisa belajar dari cara si nenek tersebut. Kalau kita punya niat berqurban, menabung sedikit demi sedikit, Allah pasti akan meridhoinya dengan memberi jalan keluarnya. Saya tunggu kunjungan baliknya di http://OBYEKTIF.COM/.

Salam kompak,
Obyektif Cyber Magazine
obyektif.com

Posting Komentar